Teori Butterfly Effect dapat didefinisikan secara singkat sebagai suatu kekacauan yang disebabkan karena sensitive dependency on initial conditions. Tingkat ketergantuangan yang peka suatu dependent variable terhadap independent variable telah menciptakan kondisi dimana perubahan kecil disuatu tempat dapat mengakibatkan perubahan besar ditempat lain. Sebuah kepakan sayap kupu-kupu dihutan Brazil dapat menghasilkan tornado di Texas.
Terkait dengan teori Edward Norton Lorenz tersebut, kepakan sayap COVID-19 telah menimbulkan suatu potensi tornado bagi ketahanan ekonomi Propinsi Bali. Melalui penelitian ini, penulis mencoba mengidentifikasi dan mendeteksi sejauh mana potensi ancaman tersebut serta mencoba memberikan suatu problem solving sebagai langkah antisipatif yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Bali.
Berdasarkan International Union of Official Travel Organization (IUOTO), pariwisata mempunyai delapan dampak positif yang dapat dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mengembangkan perekonomian pariwisata. Delapan dampak positif tersebut adalah: Pariwisata sebagai faktor pemicu bagi perkembangan ekonomi; Pemicu kemakmuran melalui perkembangan komunikasi, transportasi, akomodasi dan jasa pelayanan lainnya; timbulnya perhatian khusus terhadap pelestarian budaya dan nilai-nilai sosial karena berpotensi memberikan nilai ekonomi; Pemerataan kesejahteraan akibat dari konsumsi wisatawan; Penghasil devisa; Pemicu perdagangan internasional; Pemicu pertumbuhan ilmu pendidikan pariwisata maupun lembaga yang memperhatikan permasalahan pariwisata; Berkembangnya pangsa pasar produk lokal.
Sejalan dengan IUOTO, industri pariwisata merupakan Driving Force (roda penggerak) ekonomi yang signifikan bagi Propinsi Bali. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang didapat guna membiayai belanja daerahnya bersumber dari dinamika industri pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsung. Jenis produk industri pariwisata di Bali sangat bervariasi, mulai dari turis dengan motivasi berlibur, bisnis hingga MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition). Produk pariwisata tersebut memerlukan sarana dan prasarana pendukung seperti transportasi, akomodasi, dan restoran. Kegiatan ekonomi dari sektor pariwisata telah menjadi efek pengungkit bagi kegiatan perekonomian lainnya di Propinsi Bali.
Akan tetapi, proses pemanfaatan industri pariwisata sebagai driving force ekonomi propinsi meninggalkan permasalahan tersendiri. Masyarakat Bali hanya merasakan remah-remah dari kue besar yang bernama industri pariwisata. Propinsi Bali hanya memperoleh keuntungan dalam bentuk pungutan Pajak Hotel dan Restoran (PHR) serta tersedianya lapangan kerja yang lambat laun diambil oleh kelompok pendatang. Pemerintah Propinsi maupaun masyarakat Bali belum menyentuh produk utama dari industri pariwisata yang ada di Bali. Hotel, restoran, tempat wisata, perdagangan internasional dan transportasi masih didominasi oleh pemilik modal dari luar Bali.
Jika dilihat dari paradigma pariwisata, kebijakan ekonomi yang diambil berdasarkan IUOTO memang tepat sasaran. Akan tetapi jika dikaji secara holistik dan integral, maka pengambilan kebijakan tersebut rawan akan resiko dibidang ketahanan ekonomi. Pengambilan kebijakan untuk bersandar hanya pada satu sektor industri ekonomi hanya akan memperlemah ketahanan dibidang ekonomi, sebab Pemerintah tidak melakukan manajemen resiko guna mengantisipasi potensi ancaman yang akan muncul dikemudian hari.
Propinsi Bali saat ini sedang menuai dampak dari kurang baiknya perencanaan strategis (renstra) dalam manajemen resiko terhadap ketahanan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Bali dapat dipastikan akan terganggu, sebab industri pariwisata memberikan kontribusi leboh dari 50% terhadap PDRB Propinsi Bali. Hasil observasi dan wawancara di daerah Nusa Dua, Tuban, Legian dan Kuta,tingkat keterisian (okupansi) hotel menurun hingga 60-80%. Pembatalan kamar hotel sudah menembus angka 40.000 kamar dengan total nilai kerugian mencapai 1 Trilliun Rupiah. Tenaga kerja pariwisata juga tidak terlepas dari butterfly effect COVID-19. Sejumlah tenaga kerja harus mengalami pengurangan jam kerja, cuti paksa hingga PHK.
Mencermati situasi yang ada, peneliti menyarankan sebaiknya pihak PemProp Bali mengambil kesempatan guna melakukan reposisi terkait renstra ketahanan ekonomi. Pemerintah Propinsi Bali sebaiknya melakukan manajemen resiko sehingga potensi ancaman ekonomi tidak akan muncul kembali dikemudian hari. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan menciptakan industri ekonomi tambahan sebagai driving force ekonomi Propinsi Bali dengan dibarengi penurunan tingkat ketergantungan terhadap industri pariwisata secara bertahap; Kedua meningkatkan kualitas peran masyarakat dan pemerintah Bali dalam industri pariwisata dengan berfokus pada produk utama industri pariwisata dan mengurangi kuantitas dalam produk yang sifatnya hanya remah-remah dalam kue besar yang bernama pariwisata Bali.
Sebagai implementasi dari cara pertama, peneliti sudah mengumpulkan data melalui tehnik literature reviews dan indept interview. Selanjutnya data tersebut dianalisa dengan menggunakan model analisis interaktif dan menghasilkan saran tindak agar Pemprof Bali dapat memulai untuk membangun industri yang memiliki potensi sebagai pendamping industri pariwisata. Industri yang sesuai dengan competitive advantage Propinsi Bali, yaitu pertanian dan perikanan. Sejarah mencatan industri pertanian Bali mempunyai keunggulan baik dibidang teknologi seperti subak maupaun terkait dengan kultur tanah. Propinsi Bali merupakan daerah dengan rata-rata dengan produktifitas tertinggi di Indonesia, dengan hasil mencapai hampir 6 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektar. Bertani bukan hanya faktor ekonomi bagi masyarakat Bali, melainkan juga sebagai bagian dari sosial budaya. Akan tetapi berkurangnya lahan pertanian akibat industri pariwisata serta berkurangnya minat generasi muda untuk bertani menjadikan keunggulan tersebut perlahan tapi pasti menjadi tidak optimal. Industri kedua yang peneliti dapatkan dari hasil analisa adalah industri perikanan. Propinsi Bali mempunyai luas wilayah laut 9.634,5 Km² dengan panjang garis pantai sepanjang 470 Km. Potensi perikanan budidaya di Bali seluas 1.551,75 hektare, namun baru dimanfaatkan sekitar 30 persen saja untuk pengembangan rumput laut, kerapu, dan kerang mutiara. Sedangkan lahan potensial untuk budidaya tambak di Bali seluas 1.667 Hektare, namun baru dimanfaatkan sebanyak 28 persen. Selain itu, terdapat pula lahan potensial budidaya air tawar berupa sawah, kolam, dan perairan umum di Bali seluas 27.410,57 Ha untuk pengembangan udang galah, ikan mas, nila, lele, gurami, dan ikan hias. Dari sisi kualitas produksi, beberapa jenis produksi perikanan dan kelautan Propinsi Bali berhasil menembus pasaran ekspor dengan jumlah yang cukup signifikan. Peneliti yakin, dengan manajemen resiko melalui penciptaan industri baru selain industri pariwisata, potensi ancaman ekonomi akan dapat diminimalisir dan ketahanan ekonomi akan terwujud.
Implementasi dari cara kedua, peneliti menyarankan Masyarakat dan Pemprof Bali mengambil peran yang lebih besar dalam industri pariwisata Bali. Pemprof sebaiknya memaksimalkan BUMD secara profesional & accountable sehingga pendapatan yang diperoleh bukan hanya dalam bentuk pungutan Pajak Hotel dan Restoran (PHR), akan tetapi dapat berbentuk revenue dari perusahaan yang dimiliki Pemprof. Pembentukan suatu holding company yang dimiliki Pemprof Bali sebagai mesin ekonomi daerah sebaiknya dilakukan, sebab hal ini akan memberikan keuntungan dan manfaat lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kondisi tenaga kerja pariwisata yang saat ini dipaksa cuti maupun PHK, dapat dimaksimalkan dengan memberikan kesempatan untuk alih profesi sebagai pengusaha kecil. Pemprof secara integral dan komprhensif dapat memberikan bantuan pinjaman dan pelatihan kepada mereka, seperti pemberian pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pelatihan yang terkait industri pariwisata melalui Balai Latihan Kerja. Dengan solusi ini, diharapkan ketahanan ekonomi Propinsi Bali akan menjadi mumpuni dan masyarakat Bali dapat menikmati fenomena industri pariwisata secara adil.

-Yudha Fernando, SE.,M.Si.,M.Kom.,CEH.,ECIH-
Dosen Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia