Mengeja namanya yang tidak terlalu panjang, Nicollo Machiavelli, tidaklah serumit dalam memastikan keutamaan moralitas politik yang dianutnya. Siapapun yang membaca karya mashurnya Il Principe (The Prince: Sang Penguasa) yang berisi “jalan para Iblis”, pasti akan tersesat dibuatnya jika tidak segera membaca buku penuntunnya, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (1513) yang berisi “jejak para Malaikat”, yang dipublikasikan pada 1531 dengan judul The Discourses on Livy (Literally “Discourses on the First Decade of Titus Livy”).

Machivelli dikenal luas oleh publik politik setelah nasehat-nasehat “kontradiktifnya” mengejutkan dunia religius dan membuat gempar dunia propan sejak bukunya The Prince ditulis pada empat puluh enam tahun setelah kelahirannya pada tahun 1467. Dialah satu-satunya filsuf politik Renaisans (renaissance) yang memilih metode tak lazim dalam mengajarkan moralitas politik kepada penguasa atau para peminat kekuasaan mengikuti ekspressi zamannya. Namun jalan hidupnya ke arah nasib malang tidaklah disebabkan oleh cara yang dipilihnya itu. Dalam kesendiriannya empat tahun sebelum kematiannya pada tahun 1527, disebabkan oleh penentangannya pada penguasa-penguasa Medici yang bertahta setelah mengeksekusi Savonarola, penguasa Florence yang dikaguminya. Penyebab lainnya hingga membuatnya sempat ditahan meski kemudian dibebaskan adalah kegagalanya mengambil hati Medici melalui tulisannya The Prince.
Tahun kematiannya pada 1927 yang bertepatan dengan kematian Renaisans, saat Roma diserang oleh Charles V, seolah-oleh tak meninggalkan warisan baik pada sejarah kebesaran filsafat politik dan ilmu pengetahuan lantaran nasehat buruknya pada penguasa. Bahkan reputasinya kian buruk setelah nama baiknya disematkan guru kejahatan yang membuatnya tidak banyak orang menaruh pujian dan memberinya penghormatan. Kecuali kaum terpelajar dan bagi orang-orang cermat, hingga sekarang pun namanya menjadi buruk jika para pengamat politik membincangkan penguasa yang tampil culas dalam mempertahankan kekuasaan yang direbut secara tidak senonoh dan atau bertahta tanpa kekuasaan yang absah (legitimasi politik).

Tapi apapun penilaian orang tentangnya, saya harus bisa memahaminya dengan bijaksana dari sudut pandang konsekuensial. Sebab, siapapun dia, entah itu seorang ahli hak cipta akademik klasik yang sangat cermat sekalipun pasti sudah bisa meramalkan bahwa seorang ahli yang menulis pikiran-pikiran baiknya tetap tak bisa mengontrol maksud dan tujuan dari isi tulisannya setelah beredar di tangan para pembaca. Setiap satu ‘kata yang bermakna khusus’ yang ditulis lepas dari tinta penanya, pasti akan menjadi ‘kata yang surplus makna’ setelah berada di tangan para pembaca karena akan menafsirkannya sesuai seleranya.

Kembali pada obyek yang saya sorot. Tentang kehebatan Machiavelli, Bertrand Russell dalam bukunya History of Western Philosophy and its Connection from the Earliest Times to the Present Day (1946) tanpa ragu, tanpa beban akademik, dan dengan sangat yakin mengatakan bahwa meski Renaisans tidak melahirkan filosof teoritis penting, tetapi ia telah melahirkan salah satu manusia besar dalam filsafat politik. Filsafat politiknya membuat tradisi, adat istiadat, dan agama terkejut, dan memang Machiavelli ingin membuat kejutan. Orisinalitas gagasan konseptual-teoritisnya (ilmiah), dan pengalaman aktual-empiriknya (obyektif) adalah ciri khas filsafat politiknya, karena memang didasarkan pada pengalaman pribadinya tentang cara mencapai tujuan tertentu terlepas apakah tujuan itu baik atau buruk. Konsekuensinya, banyak fitnah konvensional yang disematkan pada nama besarnya, terutama dilatari oleh kemarahan orang-orang hipokrit yang benci untuk berkata jujur tentang perbuatan jahat yang dilakukannya.
Machiavelli tak ragu mengatakan bahwa ada dua cara manusia berjuang memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, yaitu: (1) cara manusia, yaitu melalui hukum dan moralitas, dan (2) cara binatang, yaitu lewat kombinasi antara kekejaman-kekuatan dan kelicikan-penipuan. Suatu kombinasi sempurna antara sifat binatang pemangsa ganas, Harimau, dan binatang penyelinap yang licin, Rubah. Namun lanjut Machiavelli, terhadap keduanya, cara pertama cenderung ditinggalkan oleh para petualang kekuasaan.

Mengapa cara kedua yang banyak dipilih orang? Bagi kaum terpelajar jawabannya tidaklah sulit, yaitu karena orang yang konsisten berjuang menggunakan cara-cara manusia (hukum) cenderung kalah, lantaran yang memegang hukum juga cenderung adalah orang-orang kuat dan licik. Dalam teori dan prakteknya, hukum adalah produk politik: kekuasaan. Betul bahwa pada tataran ide (das sollen), hukum adalah istrumen politik untuk mengatur kebaikan umum, namun pada prakteknya (das sein) juga sangat mungkin terjadi sebaliknya, hukum adalah alat kekuasaan untuk melakukan kejahatan umum. Ketika Perikles, negarawan Athena, mengajukan tesis bahwa
“hukum (nomos) ialah apapun yang diundangkan oleh penguasa negara kota”, Alcibiades, ponakan Pricles yang cerdas, menyela bertanya: “bagaimana dengan undang-undang yang diberlakukan dengan pemaksaan oleh yang kuat terhadap yang lemah, bukan dengan persuasi, apakah itu juga termasuk nomos?” Prikles menjawab ponakannya dengan tegas, “semua undang-undang yang diberlakukan dengan pemaksaan oleh yang kuat terhadap yang lemah, bukan dengan persuasi adalah negasi hukum (anomia), bukan hukum”.
*…”*
*bersambung*

 

Dr Mulyadi La Tadampali, M.Si
(Dosen di Kajian Ilmu Kepolisian Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia)