Beberapa tahun belakangan ini bitcoin merupakan suatu terobosan fenomenal yang menarik perhatian banyak orang. Bahkan kehadirannya disusul muncul coin-coin lainnya. Bicara tentang bitcoin tentu sangat menarik. Apalagi, tak sedikit yang menyebut bitcoin sebagai emas di era digital. Benarkah seperti itu?
Tulisan ini mencoba mendalami apa itu bitcoin, yang hadir pada 2009. Bahkan 9 tahun setelah itu, penikmat bitcoin tak pernah tahu siapa penciptanya, yang hanya hanya dikenal dengan nama anonim, Satoshi Nakamoto. Apakah dia seorang individu, mewakili kelompok atau organisasi, atau sebuah kelompok atau organisasi.
Tapi yang pasti tujuan Satoshi Nakamoto membuat bitcoin adalah untuk menyederhanakan transaksi pengganti uang dengan tidak melibatkan pihak ketiga seperti bank dan lain-lain. Bitcoin pun didukung sebuah teknologi yang diberinama ‘Blockchain’. Berkat blockchain inilah transaksi menjadi transparan dan powerfull.
Bilamana kita flashback pada tahun kelahiran bitcoin, 2009, maka pada saat itu sedang terjadi kriris ekonomi di Amerika Serikat dan juga dunia—2007-2008. Kehadiran bitcoin serta merta menawarkan suatu yang menarik di mana bitcoin hanya diatur oleh penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Supply bitcoin dibatasi hanya 21 juta bitcoin dan dikeluarkan berkala setiap 4 tahun sekali, yang mana semakin lama semakin sedikit jumlah (bitcoin) yang dikeluarkan. Menariknya adalah bagaimana sebuah bitcoin yang tidak memiliki value interistik sebagaimana emas bisa menjadi sesuatu yang bernilai dan diminati.
Tapi kini bitcoin seakan menjadi memiliki value atau berharga bilamana kita melihat harga satuan bitcoin yang kini mencapai hampir Rp 100 juta rupiah. Sangat menggiurkan bukan? Bagaimana pun Satoshi Nakamoto telah sukses membuat bitcoin muncul kepermukaan.
Walhasil, kini siapa yang tidak mengenal cryptocurency yang bernama bitcoin? Mengapa disebut cryptocurency? Karena bitcoin terlahir dari Blockchain. Munculnya bitcoin kepermukaan itu berkat fenomena digital yang terjadi. Anda masih ingat fenomena apa yang terjadi pada Mei 2017 di Indonesia?
Benar! Tepat pada Mei 2017, dunia dan juga Indonesia digemparkan dengan ‘serangan’ WannaCry! Sebuah virus (ransomware attack) yang menyerang komputer atau laptop. Bahkan virus ini menyasar obyek-obyek vital seperti rumah sakit dan perkantoran.
Muncul anggapan WannaCry terjadi karena kita tidak menggunakan software asli atau tidak menggunakan antivirus asli atau tidak menggunakan software yang ter-update. Namun ada satu hal yang luput dari perhatian: WannaCry meminta tebusan bitcoin, bila tidak maka data-data penting kita akan hilang.
Bisa dibilang bitcoin menjadi pahlawan. Bitcoin berjasa menyelamatkan data-data penting. Namun efek sampingnya, dengan kejadian seperti itu, ramai orang mencari tahu tentang bitcoin, dimana tempat mendapatkannya, bagaimana cara membelinya, dan yang terakhir apa itu bitcoin yang sebenarnya.
Bagaikan sebuah teror bom pada umumnya. Di mall misalkan, walaupun tak ada korban jiwa, namun setidaknya mampu membuat orang jera ke mall meski untuk sementara. Virus WannaCry setidaknya juga memakai strategi seperti itu (deterrence effect).
Memang jumlah bitcoin yang diminta oleh mereka sedikit, tapi efeknya sangat besar, karena membuat orang berjaga-jaga bila kelak datang lagi ancaman serupa. Karena itu, boleh jadi, banyak orang yang menyimpan bitcoin. Sehingga banyak permintaan terhadap bitcoin dan tebak apa yang terjadi? Harga bitcoin naik drastis!
Karena pergerakan harga bitcoin tidak stabil (volatilize) maka tak sedikit orang mengambil kesempatan untuk menyimpannya, sehingga tujuan awalnya untuk transaksi berubah menjadi investasi, dikarenakan sejak 2016 hingga 2017 harga bitcoin naik dari US$ 417.02 menjadi US$ 19177.19 (45 kali lipat dalam 2 tahun!).
Dengan melihat pergerakan harga bitcoin yang sangat tidak stabil, dan bahkan bisa naik hingga 45 kali lipat, hal itu membuktikan bahwa fluktuasi harga benar-benar dari hukum permintaan dan penawaran. Seakan-akan teori Keynes sedang dikritisi kembali oleh teori klasik ekonomi: bahwa pasar hanya ada hukum permintaan dan penawaran, pemerintah tidak dapat ikut campur.
SEPTIA Z. PUTRA,
Alumnus KSI, Sekolah Kajian Stratejik & Global UI
MOST COMMENT