Belum lama ini, sekitar pertengahan Agustus lalu, masyarakat diramaikan dengan penangkapan sejumlah orang yang diduga aktif menyebarkan berita bohong atau informasi palsu (hoax) yang bernuansa SARA di media sosial. Polisi menyebut kelompok tersebut Saracen. Saracen diduga merupakan sindikat yang dibayar untuk menyebarkan hoax di media sosial. Lainnya tentang kasus penipuan agen perjalanan haji dan umroh, First Travel. Orang dengan mudah percaya bahwa hanya dengan ongkos Rp 15- Rp 17 juta bisa pergi umroh ke Arab Saudi. Bahkan, sebelumnya ada kasus penipuan seorang yang mengaku ulama dan bisa menggandakan uang: Dimas Kanjeng.
Menjadi pertanyaan kita semua, mengapa individu-individu, bahkan yang berpendidikan sekalipun, mudah diperdaya hoax dan bahkan ikut menyebarkan hoax? Apa sebenarnya hoax itu? Jurnalis senior asal Amerika Serikat, Curtis D. MacDougall, dalam bukunya “Hoax” (1958) menyebut hoax tak lain adalah: “a deliberately fabricated falsehood made to masquerade as the truth.” Suatu hal atau informasi yang keliru yang sengaja difabrikasi dan disebarkan seolah-olah sebagai suatu hal/informasi yang benar. Akibatnya, orang menganggap hal benar menjadi salah atau sebaliknya. Hoax bisa berupa isu, lelucon, klaim, atau takhayul.
Hal hampir senada juga diungkapkan oleh seorang jurnalis, novelis, esais, dan kritikus asal Amerika Serikat, George Orwell. Secara tak sengaja ia pernah mengungkap tentang hoax dalam esainya yang klasik bertajuk “Politics and the English Language”. Esai terbitan 1946 itu menyebut bahwa “bahasa politik dimaksudkan untuk membuat sebuah kebohongan terdengar menjadi sebuah kebenaran.” Lantas, mengapa orang dengan mudah mempercayai sebuah berita palsu atau bohong? Berikut ini hasil riset yang dibuat Dr. Michael Shermer yang diulas dalam bukunya “Why People Believe Weird Things” sebagaimana dikutip dari situs berita Business Insider.
Pertama, adanya faktor Kesederhanaan Kongnitif. Intinya, ketika otak manusia memproses informasi alam bawah sadar manusia bereaksi cepat dan alami untuk mempercayai informasi tersebut. Sebaliknya, rasa ragu (skeptisme) berjalan lambat dan tak alami, dan kebanyakan orang memliki toleransi yang rendah terhadap ambiguitas (sifat mendua). Itu sebabnya dalam kasus koperasi Pandawa dan Dimas Kanjeng yang bisa menggandakan uang, orang dengan mudah percaya bahwa mereka akan bertambah kaya dengan cepat tanpa harus mengeluarkan banyak duit. Atau pun kalau pun mengeluarkan duit banyak mereka tak masalah karena akan diganti dengan uang yang lebih banyak lagi dan tentunya dalam jangka waktu yang cepat. Hal seperti ini kadang terjadi pada kasus investasi bodong.
Kedua, Disonansi Kognitif. Kondisi ketidaknyamanan akibat mempercayai dua hal yang pada dasarnya saling bertetangan pada saat yang bersamaan. Membuat seseorang tertarik dan terpikat terhadap informasi baru yang mendukung atau sejalan dengan kepercayaan (atau sesuatu yang sudah diyakini) yang sudah ada dalam diri orang tersebut, sekalipun gagasan atau informasi tersebut tidak benar atau tidak rasional-logis. Sebaliknya bias ini akan membuat orang mengabaikan, menolak atau memodifikasi informasi yang bertentangan atau tidak sejalan dengan sistem kepercayaan orang tersebut, sekalipun informasi baru tersebut benar atau rasional-logis. Contohnya adalah isu-isu yang terkait agama atau sentimen atau stereotype (misalnya SARA) yang merupakan sistem kepercayaan yang sudah berakar sangat kuat dalam diri kelompok tertentu. Dengan menggunakan framing agama dan sentimen, suatu berita atau informasi yang tidak benar dapat diolah sehingga terkesan mendukung atau sejalan dengan apa yang sudah diyakini kelompok tersebut.
Ketiga, Efek Bumerang. Kesederhanaan kognitif dan kejanggalan (disonansi) yang mengarah pada sebuah fenomena yang ganjil di mana orang tampak memiliki keyakinan ganda dalam melihat sejumlah bukti yang mereka anggap cukup membingungkan. Dalam kasus ini misalnya isu bahwa Irak memiliki sejumlah senjata pemusnah massal. Suatu berita yang sama yang disajikan oleh dua orang wartawan bisa saja dipahami dan ditanggapi secara berbeda oleh pembaca yang sama, karena kedua wartawan tersebut menyampaikannya dengan cara yang berbeda (framing). Bias ini bisa dimainkan dalam membuat hoax. Sekadar ilustrasi, kelompok Liberal yang menentang perang percaya bahwa Saddam menyembunyikan atau menghancurkan senjata pemusnah massal, sementara kelompok konservatif yang menyokong perang sedari awal sudah meyakini bahwa Saddam memiliki senjata pemusnah massal. Ketika pada akhirnya terbukti tak ada senjata pemusnah massal, kelompok liberal mengatakan bahwa mereka sejak awal menyatakan tak pernah sekalipun mendukung perang, adapun kelompok konservatif tetap berkeyakinan bahwa senjata pemusnah massal itu ada.
Lantas, bagaimana kita menyikapi hoax? Dan, di antara puluhan ribu situs yang menamakan dirinya media massa, siapa yang bisa kita percaya? Dosen filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung (BBC Indonesia, 4 Januari 2017) menilai reaksi pemerintah menghadapi informasi palsu malah tidak sama sekali menyentuh akar masalah. Dalam pandangan Rocky, hoax adalah sebuah gejala: bahwa ada sesuatu yang bergejolak dalam opini publik yang tidak sanggup dikedalikan oleh pemerintah.
“Kalau legitimasi pemerintah kuat, orang tidak akan sebar berita palsu. Tapi begitu legitimasi melemah, oposisi akan mengekspoitasi kerentanan itu dengan memproduksi hoax. Berarti sinyal ‘hoax’ adalah krisis legitimasi di otoritas. Itu yang harusnya diperbaiki,” katanya.
Rocky mencontohkan bagaimana pemerintah merespons isu 10 juta tenaga kerja asing asal Cina. Dalam sebuah kesempatan, Joko Widodo menepis angka itu dan mengatakan jumlah yang benar adalah 21.000 sedangkan di kesempatan lain Menkopolhukam menyebut jumlahnya 12.000. Mana yang harus jadi acuan? Kegagapan sistem informasi pemerintah inilah yang menjadi kesempatan timbulnya hoax, menurut Rocky. Hal hampir senada juga disampaikan Direktur Eksekutif ICT Watch, Donny BU. Ia menilai langkah Kominfo dan Dewan Pers dalam memberi petunjuk bagi masyarakat untuk membedakan mana situs informasi kredibel mana yang tidak, belum sepenuhnya memberi solusi. Sebaliknya, situs yang tidak punya penanda pun tidak bisa langsung dikatakan tidak kredibel. Kredibilitas, menurut Donny, adalah sebuah proses pengakuan yang panjang dari publik yang tidak hanya bisa didapat dari sekedar cap atau barcode.
“Bukan berarti bahwa kalau sudah pasang penanda tersebut, maka (semua) beritanya otomatis jadi kredibel. Tidak juga, tetapi setidaknya ada pihak yang dapat menjadi penjamin bahwa institusi tersebut menjalani proses-proses sebagaimana diatur dalam kode etik jurnalistik dan UU pokok pers,” katanya. Karena itu, sebagaimana ditulis oleh jurnalis senior asal Amerika Serikat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya “Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi”, yang telah diterbitkan pada 2010, masyarakat juga diminta untuk tidak sepenuhnya menaruh kepercayaan pada media, pemerintah, apalagi produsen berita palsu. Masyarakat juga harus ikut bertanggung jawab menjadi ‘editor’ bagi dirinya sendiri dalam menghadapi serbuan informasi. Sebab, di era digital dewasa ini jurnalisme tidak lagi relevan berperan sebagai ‘penjaga pintu’ karena “pers hanya menjadi satu di antara banyak media penghubung.”
ANDRE PRIYANTO, Mahasiswa Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI
MOST COMMENT